Gambaran Perhimpunan Di Saat Sebelumnya Peperangan |
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin
‘Affan radliyallaahu ’anhu adalah terjadinya perang Jamal yang terkenal antara
‘Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair radliyallaahu
‘anhum. Kronologi peristiwa ini adalah ketika terbunuhnya ‘Utsman, maka
orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah dimana mereka berkata kepadanya :
”Ulurkan
tanganmu, kami akan berbaiat kepadamu”.
‘Ali berkata :
“Tunggu dulu, sampai orang-orang bermusyawarah”.
Maka sebagian di antara mereka berkata :
“Apabila
orang-orang kembali ke negerinya masing-masing telah terbunuhnya ‘Utsman,
sementara itu belum ada seorang pun yang menggantikan kedudukannya (sebagai khalifah),
niscaya akan terjadi perselisihan dan kerusakan umat”.
Di antara orang yang membaiatnya itu adalah Thalhah dan Az-Zubair
radliyallaahu ‘anhuma. Kemudian, mereka berdua pergi ke Makkah untuk menunaikan
ibadah ‘umrah, dan di sana mereka bertemu dengan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Setelah membicarakan masalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, mereka pergi ke
Bashrah untuk menuntut ‘Ali agar menyerahkan orang yang telah membunuh ‘Utsman; akan tetapi ‘Ali tidak memenuhi permintaan mereka.
Hal itu dikarenakan ‘Ali masih menunggu para wali dari keluarga
‘Utsman untuk menyelesaikan perkara kepadanya; yaitu, apabila telah dapat
ditetapkan orang yang membunuh ‘Utsman, maka akan dijatuhkan hukum qishash
padanya. Maka mereka pun (yaitu ‘Aisyah,
Thalhah, dan Az-Zubair dengan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum) berbeda pendapat
dengan sebab ini. Sementara itu, orang-orang yang tertuduh sebagai pembunuh
‘Utsman – yaitu mereka yang menentang ‘Utsman – merasa khawatir bahwa ‘Ali,
‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair bersepakat untuk menghukum bunuh mereka. Maka
mereka pun mengobarkan peperangan antara dua kelompok tadi.
Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan
‘Ali bahwasannya antara dia dan ‘Aisyah akan timbul permasalahan.
Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib :
“Bahwasannya antara kamu dan ‘Aisyah nanti akan
ada satu permasalahan”. ’
Ali bertanya :
“Saya kah
wahai Rasulullah ?”.
Beliau menjawab :
“Ya”
Ali kembali bertanya :
“Apakah saya
orang yang celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah ?”.
Beliau menjawab :
“Tidak, akan
tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (’Aisyah) ke tempatnya
yang aman”.
Dan hal yang menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan
Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan
mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Haazim,
ia berkata :
“Ketika ’Aisyah radliyallaahu
’anhaa sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing (di
tempat tersebut) menggonggong.”
Berkata ’Aisyah :
“Perairan
apakah ini?”
Mereka pun menjawab :
“Al-Hauab”
Aisyah berkata :
“Aku kira aku
harus kembali pulang”.
Lalu Az-Zubair berkata kepadanya :
“Tidak,
bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan
mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”.
‘Aisyah berkata :
“Namun aku
kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam bersabda : “Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila
anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”
Dan dalam riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ’Abbas, bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata kepada istri-istrinya :
“Siapakah di
antara kalian yang mempunyai onta adbab, lantas ia keluar (dengan mengendarainya) sehingga anjing-anjing
Hauab menggonggong kepadanya. Banyak orang yang terbunuh di samping kanan dan
kirinya, dan dia sendiri selamat setelah sebelumnya hampir terbunuh”
Ibnu Taimiyyah berkata :
“Sesungguhnya ’Aisyah tidak keluar untuk berperang, melainkan
dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin. Dia mengira bahwa keluarnya itu
akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Namun yang tampak olehnya setelah
itu bahwa seandainya ia tidak keluar maka hal itu lebih baik. Oleh karena itu,
jika ia teringat keluarnya (menuju Bashrah) itu, ia menangis hingga membasahi
kerudungnya. Demikian pula halnya dengan kaum muslimin terdahulu, mereka
merasa menyesal karena terlibat peperangan itu. Thalhah, Az-Zubair, dan ’Ali
radliyallaahu ’anhum; mereka semua juga merasa menyesal.
Dan peristiwa
Jamal itu pada mulanya tidak mereka maksudkan untuk berperang, akan tetapi
peperangan itu terjadi di luar kehendak mereka. Ketika ’Ali, Thalhah, dan Az-Zubair saling berutus surat dan
berkeinginan mencari kesepakatan untuk mencapai kemaslahatan, dan ketika mereka
telah bertekad mencari pencetus fitnah pembunuh ’Utsman; ’Ali dalam keadaan
tidak ridha dengan terbunuhnya ’Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya
sebagaimana diucapkan dalam sumpahnya :
“Demi Allah,
aku tidak membunuh ’Utsman dan tidak pula berkomplot membunuhnya”
sedang ’Ali itu orang yang jujur dan benar sumpahnya.
Maka, para pembunuh itu takut apabila ’Ali bersepakat dengan
mereka untuk menangkap para pembunuh itu. Lalu, mereka menghasut askar Thalhah
dan Az-Zubair. Kemudian Thalhah dan Az-Zubair mengira bahwa ’Ali telah
menyerang mereka, lalu keduanya membela diri. Begitu juga ’Ali mengira bahwa
mereka berdua telah menyerangnya, lalu ia pun membela diri. Maka terjadilah
fitnah (peperangan) tanpa diinginkan oleh mereka.